jump to navigation

RESEP LANGGENG PERNIKAHAN IBU & AYAHKU Juni 12, 2008

Posted by elindasari in Renungan.
Tags: , , , , , , , , , , , , , , , ,
trackback

Ini adalah cerita tentang resep perkawinan yang langgeng dari ibu & ayahku. Karena pada hari ini mereka merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke 42, jadi tadi pagi saya sempatkan untuk memberi ucapan selamat dan tak ketinggalan do’a terbaik buat mereka tentunya..

Hem, terus terang aku sebagai anak ketiga di keluargaku sangat bangga, sekaligus kagum atas kelanggengan pernikahan mereka. Diusia mereka yang tidak lagi muda, mereka masih tetap mesra, akur, dan saling perhatian & pengertian. Sungguh aku sangat mengidolakan mereka.

Semuanya itu bukan tanpa alasan, karena aku tidak pernah menyaksikan dalam usia pernikahan ibu dan ayahku yang telah dilalui dalam kurun waktu 42 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar. Di dalam hati saya, perkawinan ibu dan ayah ini, selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang wanita yang baik, seorang isteri dan seorang ibu yang baik, seperti ibu saya.

Namun terkadang harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya dalam kehidupan yang saya jalani terkadang sangatlah sulit. Tak lama setelah menikah, saya dan suami terkadang mulai bertengkar hanya akibat hal – hal kecil dalam rumah tangga.

Ya…terkadang permasalahannya cukup sepeleh, bisa alasan kelupaan sesuatu, bisa karena pekerjaan yang saya rasa tidak adil / tidak dibantu suami, bisa karena anak, macam-macam deh. Yap…namanya juga menjalani kehidupan rumah tangga jaman sekarang…ada aja pokoknya. (hehehe jadi curhat nich !)

Sengaja beberapa hari yang lalu, saya mengambil cuti dan saya pulang ke kampung halaman untuk menjengguk ibu & ayah, karena kangen juga dengan ibu & ayah, juga suasana rumah yang sudah agak lama tidak saya kunjungi.

Ketika berada disana, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan yang aku alami dalam bahtera rumah tangga pada ibuku. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ibu mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah itu beliau berdiri lalu masuk ke dalam kamarnya. Tak lama berselang, ibu mengusung keluar belasan buku catatan. Lalu ditumpuknya begitu saja di hadapan saya. Aku masih bingung dengan maksud ibuku ini.

Kuperhatikan sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning bahkan sudah berubah warna menjadi coklat, kelihatannya buku – buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun. Sepengetahuan saya, ibuku bulanlah tipe wanita yang berpendidikan tinggi seperti zaman sekarang, beliau adalah sosok wanita sederhana dengan mengenyam pendidikan standar jaman dulu, mana mungkin beliau bisa menulis buku harian begitu banyak ? (lagi-lagi terbersit pikiran seperti itu dalam otakku, ma’af bu, bukan anakmu ini meremehlkan ibu dalam hal tulis menulis, hehehe…ampun…)

Tapi karena rasa ingin tahu yang yang besar, saya mengambil juga salah satu dari buku – buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan ibu, tulisan sambung, gaya dan ciri khas tulisan orang tempo dulu, agak miring dan berkesan sangat aneh sekali untuk ukuran orang zaman sekarang, ada tulisan yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya yang sampai menembus beberapa halaman kertas dibelakangnya. Mungkin karena tinta penanya, bisa juga saking nulisnya terlalu ditekan, hem… sedikit analisaku mengenai gaya tulisan ibuku.

Tapi lagi-lagi saya sangat tertarik dengan isi buku & hal tersebut didalamnya, sehingga tak terasa kalau saya mulai membaca buku-buku tsb dengan seksama halaman demi halaman isi buku itu. Saya mulai membedahnya.

Isi buku-buku tersebut bercerita tentang semua kejadian yang dialami oleh ibu & ayah selama ini, dan merupakan catatan hal – hal sepele menurutku, misalnya saja :

“Sekarang musim hujan, saya semakin repot, pakaian yang masih lembab mulai memumpuk, tapi dia sudah mulai membuatkan saya jemuran-jemuran sementara di samping rumah yang ditutupi plastik agar tetap bisa terangin untukku.”

“Anak – anak selalu berisik, untung ada dia yang selalu bisa menghibur si kecil hingga aku tidak keteteran”.

”Dia suka memijat punggungku bila aku mengeluh pegal-pegal”.

”Dia suka menyikat kamar mandi sekalian ketika sedang mandi bila aku kelihatan sibuk”.

”Dia selalu mengingatkan aku dengan lembut, meskipun aku selalu lupa”.

”Dia selalu ingat hari ulang tahunku”.

”Dia menghadiahkan aku jam tangan bulat dari uang cutinya”.

”Dia membuatkan sarapan mie padahal aku tidak minta”.

”Dia tidak protes ketika aku malas membuatkan makanan kesukaannya”.

”Dia suka menghiburku dengan banyolan-banyolannya yang nakal”.

….dst, pokoknya banyak banget….

Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ayah kepada ibu, mengenai cinta ayah terhadap anak –anak dan terhadap keluarga ini. Keluarga kami.

Dalam sekejap saya sudah menamatkan beberapa buku tersebut, beberapa buku mulai habis kulalap.

Tiba-tiba saya merasakan seakan ada arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya tak mampu membendung air mata yang mulai berlinang. Saya mencoba mengangkat kepala saya, dan dengan penuh rasa haru dan sahdu, saya berkata pada ibu, “Bu, saya sangat mengagumi ibu dan ayah.”

Tapi lagi-lagi ibu menggelengkan kepalanya dan berkata lirih, “Anakku, kamu tidak perlu kagum dengan ibu dan ayah !”. ”Kamu juga bisa seperti kami !”, kali ini dengan suara yang sangat membangunkan semangatku.

Lalu ibuku berkata lagi, “Menjadi suami-istri selama puluhan tahun lamanya, mustahil jika sama sekali tidak pernah bertengkaran dan benturan ? ”. ”Tapi yang menjadi permasalahan intinya adalah kalian berdua harus bisa belajar, saling pengertian dan saling toleran”.

Suara ibuku sedikit parau terdengar, tapi beliau tetap melanjutkan nasehatnya, ”Setiap orang memiliki rasa emosional, ayah dulu juga kalau sedang kesal, juga suka mencari gara – gara, melampiaskan kemarahannya pada ibu, marah, diamin ibu”. ”Tapi waktu itu ibu cepat-cepat menghindar dengan cara pergi ke teras samping rumah lalu ibu pura-pura sibuk merapikan tanaman atau apa saja, lalu di dalam buku catatan harian, ibu tetap mengingat dan menuangkan tulisan segala hal yang telah ayahmu lakukan demi rumah tangga ini”.

”Sering juga dalam hati ibu penuh dengan amarah, sehingga waktu menulis kertasnya sobek akibat tembus oleh pena. Tapi ibu masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya, ibu renungkan lagi, coba bolak-balik mengingat-ingat kebaikan ayah yang belum ibu tulis sehingga akhirnya emosi di hati ini tidak ada lagi, yang tinggal di hati dan perasaan ini semuanya adalah kebaikan dari ayahmu”. ”Hanya tentang kecintaan ayah terhadapku juga anak-anak”.

Kali ini aku melihat mimik muka ibuku penuh senyum, wajahnya yang keriput seakan tampak seperti bunga mawar yang sedang mekar, indah sekali. Aku merasakan seakan ada jutaan embun sejuk yang menetes di sana. Damai, tentram, sembringan kebahagian terukir didadanya.

Saya sangat terpesona mendengarkannya. Tapi saya tetap penasaran, saya mencoba bertanya lagi pada ibu,
“Bu, apakah ayah pernah melihat catatan – catatan ibu ini ?”, tanyaku polos dan ingin jawaban ibuku dengan jujur.

Tapi kali ini, ibu tertawa. ”Ayo, bu jawab !”, pintaku lagi karena saya makin penasaran.

Lalu ibupun menjawab, “Ayahmu juga memiliki buku catatan seperti itu. Dalam buku catatannya semua isinya juga tentang kebaikan diriku”.

Kali ini mimik ibuku tampak malu-malu, aku merasakan hatinya berdegup kencang seperti sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Romantis sekali.

Ibu bilang, ”Kadang kala di malam hari ketika menjelang tidur, mereka saling bertukar buku catatan, dan lalu saling menertawakan pihak lain. ha…ha…ha…!”, ibuku tertawa berderai karena terkenang sa’at-saat indah itu. Amboi manis dan romantis sekali.

Memandang wajah ibu yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan kusam masih tersimpan yang kini berada di atas meja, tiba – tiba saya sadar akan rahasia / resep kelanggengan pernikahan mereka.

Kini saya dapat menarik benang merah dari perjalan hidup pernikahan mereka, bahwa:

”Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, selalu mengingat dan mencatat kebaikan dari orang lain, orang yang kita cintai dan sayangi”. ”Lupakan segala kesalahan dan tutupi kekurangan dari dirinya”.

Ah…ternyata permasalahan-permasalahan yang aku hadapi tidaklah serumit yang aku kira. Jika resep mujarab ini bisa saya jalani.

Terima kasih ibu & ayah atas nasehat dan sharing cerita yang bermanfa’at ini.

Salam penuh cinta & sayang selalu dariku, Bintang

Semoga cerita diatas bermanfa’at & memberi inspirasi.

Komentar»

1. fulong - Juni 12, 2008

Resep yang sangat bagus dan indah…saya contek boleh ya resepnya buat keluarga saya?hehehe..

2. edratna - Juni 18, 2008

Uang kadang membuat masalah, sejak awal saya punya catatan belanja yang terbuka, walau kenyataan suami tak pernah membuka buku register tadi. Apalagi sejalan dengan kesibukan, maka akhirnya saya setiap kali memberi uang belanja sama si mbak, dan dia mencatat pada register apa yang dibelinya hari itu.

Tapi kondisi kita memang berbeda, lingkungan kerja, dan lingkungan sehari-hari, jalan macet, juga membuat tekanan yang jauh lebih berat dibanding orngtua zaman dulu. Juga anak-anak sekarang lebih terbuka dalam bersikap, sehingga jika ada yang tak setuju maka akan mudah protes…yang penting perdebatan tak berlarut-larut… dan saat malam tiba, renungkan kebaikan pasangan kita, dan lupakan kekurangannya.

3. oliveoile - Juni 20, 2008

Ceritanya bagus…
Mampukah aku seperti itu ya….?


Tinggalkan Balasan ke oliveoile Batalkan balasan